Daripada mati itu akan tumbuh kehidupan baru
Kehidupan baru itu tiada dapat ditahn-tahan, dan meskipun sekarang dapat ditahan-tahan, besoknya akan tumbuh juga dia, dan hidup makin lama makin kuat makin teguh
(dikutip dari surat kartini yang tiada diumumkan)
"Semangat zaman pembantu dan pembela saya, dimana-mana memperdengarkan gemuruh langkahnya;gedung tua kukuh dan dahsyat, tergoyang pada sendirinya ketika semangat zaman itu menghampiri pintu yang dipalang dan dijaga kuat-kuat itu, lalu terbuka lah setengahnya seolah-olah dengan sendirinya, yang lain dengan amat susahnya, tetapi terbuka, semua mesti terbuka dan tamu yang tidak disukai itu pun masuklah!" (Surat kepada Nona Zeehandelaar, 25 Mei 1899).
"Yang berubah itu sebenarnya di dalam diri kami, maka disinarinyalah segala yang ada dengan cahayanya." (Surat kepada Nyonya Ovink-Soer, 1900).
"Surat itu penting benar dalam hidup kami; hampir semuanya kami peroleh dengan berkirim-kiriman surat itulah; bila tiada pernah berkirim-kiriman surat itu, tiadalah akan sampai kami berani meninggalkan adat kebiasaan yang telah ber-abad-abad lamanya itu. Amatlah banyaknya barang yang indah jelita dan berharga yang datang kepada kami dengan perantaraan post, mutiara intan pertama bagi otak dan hati." (Surat Kepada Tuan E.C. Abendanon, 8 Agustus 1902)
DiRundung Cita-Cita,
Dihambat Kasih Sayang
Jepara, 25 Mei 1899
(Nona Zeehandelaar)
Ingin benar hati saya berkenalan dengan seorang anak gadis modern, gadis yang berani, yang sanggup tegak sendiri, gadis yang sukai dengan hati jantung saya, anak gadis yang melalui jalan hidupnya dengan langkah yang tangkas, dengan riang suka hati, tetap gembira dan asyik, yang berdaya upaya bukan hanya untuk keselamatan bahagia dirinya sendiri saja, melainkan juga untuk masyarakat yang luas besar itu, yang ikhtiarnya pun akan membawakan bahagia kepada banyak sesamanya manusia. Bernyala-nyala hati saya, gembira akan zaman baru, ya, malahan bolehlah say katakan, menilik pikiran dan rasa, saya tiada serasa dengan zaman di Hindia ini, melainkan saya telah hidup di zaman saudara saya perempuan bangsa kulit putih yang giat hendak kemajuan, di Barat yang jauh itu.
Bila boleh adat lembaga negeri saya, inilah kehendak dan upaya saya, ialah menghambakan diri semata-mata kepada daya upaya dari usaha kaum muda di Eropa. Tetapi, adat kebiasaan yang sudah berabad-abad itu, ada yang tidak merombaknya itu, membelenggu dalam genggamannya yang amat teguh. Suatu ketika akan terlepas jua kami dari genggaman itu, akan tetapi masa itu masih jauh lagi, bukan main!
Akan tiba juga masa itu, itu saya tahu tetapi tiga empat keturunan lagi. Aduh, tuan tiadala tahu betapa sedihnya, jatuh kasih akan zaman muda, zaman baru, zaman mu, kasih dengan segenap hati jiwa, sedangkan tangn dan kaki terikat, terbelenggu pada adat istiadat dan kebiasaan negeri sendiri, tiada mungkin meloloskan diri dari ikatannya. Dan adat kebiasaan negeri kami sungguh-sungguh bertentangan dengan kemauan zaman baru, zaman baru yang saya inginkan masuk ke dalam masyarakat kami. Siang dan malam saya pikir-pikirkan, saya heningkan day upaya supaya boleh terlepas juga daripada kongkongan adat istiadat negeri saya yang kers itu, akan tetapi…adat timur lama itu benar kukuh dan kuat, tetapi dapat juga rasanya saya lebur, saya patahkan, sekiranya tidak ada ikatan yang lebih kukuh dan kuat daripada adat lama manapun juga menambat saya kepada dunia saya; yaitu kasih saying saya kepada mereka yang melahirkan dan membesarkan saya; jika tidak karena mereka itu tidaklah tercapai oleh saya segala apa yang ada pada saya….boleh kah, berhak kah saya memilukan hati mereka itu, mereka yang selama hiudp saya, selalu dengan kasih saying dan hati baik, memelihara saya dengan susah payahnya? Saya akan merusakkan hatinya, bila saya turutkan kata hati saya, jika saya penuhi segala yang jadi hasrat seluruh jiwa saya, setiap detik, sepanjang masa.
Bukan hanya suara dari luar saja, suara yang dating dari eropa yang beradab, yang hidup kembali itu, yang dating masuk ke dalam hati saya, yang jadi sebab saya ingin supaya keadaan yang sekarang ini berubah. Pada masa saya masih kanak-kanak, ketika kata “emansifatie” belum ada bunyinya, belum ada artinya bagi telinga saya, serta karangan dan kitab tentang pasal itu masih jauh dari jangkauan saya, telah hidup dalam hati saya suatu keinginan, yang makin lama makin besar: keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri. Keadaan sakeliling saya, memuliakan hati, menerbitkan air mata karena sedih yang tak terkatakan, keadaan iotulah yang membangunkan keinginan hati saya itu. Dan karena suaran yang dating dari luar yang tiada putus-putusnya sampai kepada saya, keras maikn keras jua, maka bibit yang ada dalam hati saya, yaitu perasaa yang merasakan duka nestapa oaring lain yang amat saya kasihi, tumbuhlah sampai berurat berakar, hidup subur serta dengan rindangnya…..
Kami, gadis-gadis masih terantai kepada adat istiadat lama, hanya sedikitlah memperoleh bahagia dari kemajuan pengajaran itu. Kami anak perempuan pergi belajar ke sekolah, keluar rumah tiap-tiap hari, demikian itu saja sudah dikatakan amat melanggar adat. Ketahuilah, bahwa adat negeri kami melarang keras gadis keluar rumah. Ketika saya sudah berumur dua belas tahun, lalu saya ditahan di rumah-saya mesti masuk “tutupan”; saya dikurung di dalam rumah, seorang diri, sunyi senyap terasing dari dunia luar. Saya tiada boleh keluar ke dunia itu lagi, bila tiada serta seorang suami, seorang laki-laki yang asing sama sekali bagi kami, dipilih oleh orang tua kami untuk kami, dikawinkan dengan kami, sebenarnya dengan tiada setahu kami…..
Empat tahun yang tak terkira lamanya, saya berkhalwat diantara empat tembok tebal, tiada pernah sedikit jua pun melihat dunia luar. Betapa saya dapat menahan kehidupan yang demikian, tiadalah saya tahu hanya yang saya ketahui, masa itu amat sengsaranya.
Akan teptapi, semangat zaman pembantu dan pembela saya, dimana-mana memperdengarkan gemuruh langkahnya; gedung tua kukuh dan dahsyat, tergoyang pada sendirinya ketika semangat zaman itu menghampiri pintu yang dipalang dan dijaga kuat-kuat itu, lalu terbukalah, setengahnya seolah-olah dengan sendirinya, yang lain dengan amat susahnya, tetapi terbuka, semua mesti terbuka dan tamu yang tidak disukai itu pun masuklah!
Kemana ia pergi, di sana kelihatan bekas jejaknya. Akhirnya, waktu berumur enam belas tahun, maka barulah saya melihat dunia luar itu kembali. Syukur! Syukur! Sebagaimana seorang merdeka boleh lah saya tinggalkan terungku saya, dan tiada berikat kepada seorang suami yang dipaksakan saja kepada saya.
Akan tetapi, hati saya belum puas, sekali-sekali belum lagi. Jauh, tetaplah lebih jauh lagi dari itu yang saya kehendaki. Bukan, bukan keramalan, bukan bersuka-suka hati yang saya ingini, tiada pernah yang demikian itu terkandung dalam cita-cita hati saya akan kebebasan. Saya berkehendak bebas supaya saya boleh dapat berdiri sendiri, jangan bergantung kepada orang lain, supaya jangan….jangan sekali-kali dipaksa kawin.
Tetapi kawin, kami mesti kawin, mesti, mesti! Tiada bersuami adalah dosa yang sebesar-besar dosa yang mungkin diperbuat seorang perempuan Islam, malu yang sebesar-besar malu yang mungkin tercoreng di muka seorang gadis Bumiputra dan keluarganya.
Dan kawin disini, aduh, dimanakah azab sengsara masih terlalu halus! Betapa nikah itu tiada akan sengsara, kalau hak semuanya bagi keperluan laki-laki saja dan tiada sedikit jua pun bagi perempuan? Kalau hak dan pengerjaan kedua-duanya bagi laki-laki semata-mata kalau semua-muanya dibolehkan dia perbuat?
Cinta, apakah kami ketahui tentang perkara cinta itu? Betapa kami akan mungkin sayang akan seorang laki-laki dan seorang laki-laki kasih akan kami, kalau kami tiada berkenalan, bahkan yang seorang tiada boleh melihat yang lain? Anak gadis dan akan muda dipisahkan benar-benar……
Di dalam masyarakat Bumiputra, syukurlah belum lagi perlu kami memerangi setan minum, tetapi, saya kuatir, apabila nanti, maafkanlah saya, peradaban Barat telah berkedudukan yang tetap di sini, kami akan terpaksa pula berjuang kejahtan itu. Perdabanmemberi berkah, tetapi ada pula buruknya. Pikiran saya, suka meniru itu sudah menjadi tabiat manusia.
Orang kebanyakan meniru kebiasaan meniru orang baik-baik; orang baik-baik itu meniru perbuatan orang yang lebih tinggi lagi, dan mereka itu meniru yang tertinggi pula ialah orang Eropa. Peralatan bukan peralatan namanya, jika tidak ada minuman kerasnya.
Di negeri saya ini adalah kutuk, lebih jahat lagi daripada minuman keras itu? Candu! Alangkah sengsaranya negeri bangsa ku oleh benda laknat itu, tiada dapat dikatakan. Candu itu penyakit sampar Pulau JAwa. Bahkan, lebih ganas lagi dari pada sampar itu.
Benar juga kata orang; candu itu adalah jahat, selama ada uang pembeli racun itu; tetapi bila tiada dapat mengisap lagi, tidak ada uang pembelinya, sedang badan sudah menjadi hamba madat, maka sangat berbahaya lah orang itu, celaka lah dia! Oleh perut lapar orang jadi pencuri, tetapi oleh tagi akan candu orang menjadi pembunuh. Kata orang disini : mula-mulanya madat itu jadi nikmat bagi engkau, tetapi kesudahan nya dialah yang menelan engkau. Dan perkataan itu sungguh-sungguh benar!
Aduh, Tuhan, ya Tuhan! Sedih hati melihat kejahatan sebanyak itu disekeliling diri, sedang diri tiada berdaya akan menjauhkannya!
…………………………………………………………………………………………..
Saya tiada tahu berbahasa Prancis, Inggris, dan Jerman, sayang!-adat sekali-kali tiada menginzinkan kami anak gadis tahu berbahasa asing banyak-banyak-kami tahu berbahasa Belanda saja, sudah melampaui garis namanya. Dengan seluruh jiwa saya, saya ingin pandai berbahasa yang lain-lain itu, bukan karena ingin akan pandai bercakap-cakap dalam bahasa itu, melainkan supaya dapat membaca buah pikiran penulis-penulis bangsa asing itu.
18 Agustus 1899
(Nona Zeehandelaar)
……………………………………………………….
Bagi saya hanya dua macam bangsawan; bangsawan pikiran dan bangsawan budi. Tiadalah yang lebih gila dan bodoh pada pemandangan saya daripada melihat orang yang membanggakan asal keturunannya itu. Dimana kah gerangan lebih jasanya, orang yang bergelar graaf “atau baron” Tiada terselami oleh pikiranku yang picik ini.
Bangsawan dan berbudi boleh dikatakan dua perkataan yang searti! Apabila memangnya orang bangsawan, senantiasa bersifat “bangsawan” maka barulah ada kemuliaannya bagi saya, berasal tinggi itu.
……………………………………………………………..
Sesungguhnya adat sopan santun kami orang jawa amat sukar. Adiku harus merangkak, bila hendak lalu di muka ku. Kalau ada adikku duduk di kursi, apabila aku lalu, haruslah dengan segera ia turun duduk di tanah, dengan menunddukkan kepala, sampaim aku tiada kelihatan lagi. Tiada boleh adik-adik ku berkamu dan berengkau kepada ku, hanya dengan bahasa kromo boleh ia menegur ku, tiap-tiap kalimat yang disebutnya, haruslah dihabisinya dengan sembah.
Seram bulu, bila kita ada di dalam lingkungan keluarga Bumiputra yang berbangsa. Bercakap dengan orang yang lebih tinggi derajatnya harus perlahan-lahan sehingga orang yang didekatinya saja yang dapat mendengar.
Seorang gadis harus perlahan-lahan jalannya, langkahnya pendek-pendek, gerakannya lambat seperti siput layaknya. Bila agak cepat, dicaci orang, disebut “kuda liar”. Kepada kakak ku laki-laki maupun perempuan, kuturuti semua adat itu dengan tertibnya, tetapi mulai dari aku kebawah, kami langgar seluruhnya segala adat itu.
Stella, jangan engakau lihat betapa pergaulan hidup orang bersaudara di kabupaten lainnya: mereka itu bersaudara, semata-mata hanya karena mereka seibu; yang memperhubungkan mereka itu, tiada lain daripada pertalian darah. Perempuan, adik, dan kakak, tinggal bersama-sama, tetapi jarang keliahatan tanda-tanda yang menyatakan bahwa mereka itu berkerabat, lain daripada persamaan raut mukanya.
Stella, terima kasihku sangatlah besarnya, karena baik pendapat mu tentang kami, orang jawa. Sesungguhnya aku tahu bahwa bagi mu semua manusia, kulit putih dan kulit hitam sama adanya. Orang yang sebenarnya berbudi dan terpelajar semata-mata kebaikanlah saja yang kami dapat darinya. Meskipun orang jawa itu bodoh, tiada berpengetahuan, tiada beradab, semua orang sepikiran dengan engkau, tetap akan ,memandangnya sesame manusia juga, sama-sama dijadikan Allah dengan orang yang beradab itu, ada jugva berhati jantung dan mungkin juga terharu hatinya, sungguh-sungguh pun air mukanya tiada berubah dan pada mata maupun gerak tangannya tiada tampak betapa rasa hatinya.
6 November 1899
(Nona Zeehandelaar)
Tahu aku, aku akan banyak, banyak benar berjuang lagi, tetapi tiada gentar aku memandang masa yang akan dating. Kembali ke lingkungan ku yang lama, tiada aku dapat, maju lagi, masuk dunia baru itu tiada pula dapat, ribuan tali mengikat aku erat-erat kepada dunia ku yang lama. Apakaah akan jadinya nanti? Aku tiada tahu. Semua orang tahu, mengerti, akan dating juga masanya bahwa kami harus kembali juga hidup seperti dahulu, tetapi kami tiada akan merasa bahagia lagi hidup demikian.
………………………………………………….................
Aku tiada sekali-kali dapat menaruh cinta. Kalau hendak cinta, pada pendapatanku haruslah ada rasa hormat dahulu, dan aku tiada dapat menghormati anak muda jawa. Manakah aku boleh hormati yang sudah kawin dan sudah jadi bapak, tetapi meskipun begitu, oleh karena telah puas beristrikan ibu anak-anaknya, membawa perempuan lain pula kedalam rumahnya, perempuan yang dikawininya dengan sah menurut hukum Islam? Dan siapa yang tiada berbuat demikian? Dan mengapakah pula tiada akan berbuat demikian? Bukab dosa, bukan kecelaan pula; hokum Islam mengizinkan laki-laki menaruh empat orang perempuan. Meskipun seribu kali orang mengatakan, beristeri empat itu bukan dosa menurut hokum Islam, tetapi, tetap selama-lamanya aku mengatakan itu dosa. Segala pembuatan yang menyakitkan sesamanya, dosalah pada mataku. Betapakah azab sengsara yang harus diderita seorang perempuan, bila lakinya pulang ke rumah membawa perempuan lain, dan perempuan itu harus diakuinya perempuan lakinya yang sah, harus diterimanya jadi saingannya? Boleh disiksanya, disakitinya perempuan itu selama hidupnya sepuas hatinya, tetapi bila ia tiada hendak membebaskan perempuan itu kembali, bolehlah perempuan itu menangis setinggi langit meminta hak, tiada juga akan dapat.
Mengertikah engkau sekrang apakah sebabnya maka sedangat itu benar benciku akan perkawinan? Kerja yang serendah-rendahnya maulah aku mengerjakannya dengan berbesar hati dan dengan sungguh-sungguh, asalkan aku tiada kawin, dan aku bebas. Tetapi, tiada suatu jua pun boleh dikerjakan, karena menilik kedudukan Bapak.
Stella, tahukah engkau, betapa sedihnya hati, ingin benar-benar berbuat sesuatu, sedang diri merasa sungguh-sungguh tiada daya berbuat begitu.
Apabila mahir bahasa Belanda ku, sudah pastilah nasibku di kemudian hari. Terbenanglah pada tempat ku bekerja yang luas, aku pun jadi seorang yang bebas, karena ingatlah, aku orang jawa sejati, tahulah aku semua hal dunia Bumiputra. Betapa juga lamanya seorang Eropa tinggal di Pulau Jawa, tahu hal keadaan Bumiputra sekalipun, tiadalah mungkin juga sama maklumnya dengan orang Bumiputra itu sendiri tentang segalanya yang ada di dunia kami Bumiputra. Segala yang masih gelap da ajaib bagi bangsa Eropa, banyak lagi yang boleh kujelaskan dengan dua tiga patah kata, dan tempat yang tiada boleh didatangi orang Eropa, boleh dimasuki orang Bumiputra sendiri.
Berbagi-bagi perkara yang pelik-pelik di dunia Bumiputra, yang belum diketahuinya oleh ahli bangsa Hindu yang sepandai-pandainya sekalipun, dapat diterangkan oleh Bumiputra itu.
…………………………………………………………………………………
Engkau bertanya, apakah asal mulanya aku terkurung dalam empat tembok tebal. Sangkamu tentu aku tinggal didalam terungku atau yang serupa itu. Bukan, Stella, penjaraku rumah besar, berhalaman yang luas sekelilingnya, tetapi sekitar halaman itu ada tembok tinggi. Tembok inilah yang menjadi penjara kami. Bagaimana juga luasnya rumah dan pekarangan kami itu, bila senantiasa harus tinggal disana, sesak juga rasanya. Teringat aku, betapa kau, oleh karena putus asa dan sedih hati yang tiada terhingga lalu mengempaskan badan ku berulang-ulang kepada pintu yang senantiasa tertutup itu, dan kepada dinding batu bengis itu. Arah kemana juga aku pergi, setiap kali putus juga jalan ku oleh tembok batu atau pintu terkunci.
…………………………………
Tiada akan berguna kitab Hilda van Suylenburg diterjemahkan kedalam bahasa Melayu. Siapa yang membaca bahasa itu, kecuali orang laki-laki? Masih sedikit sekali perempuan Jawa yang pandai membaca bahasa Melayu.
Seluruh dunia kami Bumiputra tentu akan berubah juga; masanya berubah sudah ditakdirkan Allah, akan tetapi apabilakah? Itulah yang menjadi masalah. Ketikanya berubah terbongkar dengan sungguh-sungguh, tiada dapat kami percepat. Apakah sebabnya maka kami benar yang gaduh pikirannya, kami yang hidup daidalam rimba ini, jauh di tanah darat, diujung negeri! Kawan kami disini berkata alangkah baiknya kami tidur dulu seratus tahun lamanya, dan bila kami bangun kembaliu, barulah kami sesuai dengan keadaan masa itu.
Akan agama Islam, Stella, tiada boleh kuceritakan. Agama Islam melarang umatnya mempercayakannya dengan umat agama lain. Lagi pula, sebenarnya agama ku agama Islam, hanya karena nenek moyang ku beragama Islam. Manakah boleh aku cinta akan agama ku, kalau aku tiada kenal, tiada boleh aku mengenalnya? Qur’an terlalu suci, tiada boleh diterjemahkan kedalam bahasa mana jua pun. Disini tiada orang yang tahu bahasa Arab. Ofrang diajari sini membaca Qur’an, tyetapi yang dibacanya itu tiada ia mengerti. Pikiran ku, pekerjaan gila kah pekerjaan semacam itu, orang diajar disini membaca, tetap tidak diajarkan makna yang dibacanya itu. Sama saja engkau mengajar akan membaca kitab bahasa Inggris, aku harus hafal semuanya, sedangkan tiada sepatah kata jua pun yang kau terangkan artinya kepadaku. Sekalipun tiada jadi orang saleh, kan boleh juga orang jadi baik hati, bukan Stella?
Dan “hati baik” itulah yang terutama.
Agama itu maksudnya akan menurunkan rahmat kepada manusia, supaya ada penghubungkan silaturahmi segala makhluk Allah. Sekaliannya kita ini bersaudara, bukan karena kita seibu-sebapak, ialah ibu bapak kelahiran manusia, melainkan oleh karena kita semuanya makhluk kepada seorang Bapak, kepada-Nya, yang bertahta diatas langit. Ya Tuhanku, ada kalanya aku berharap, alangkah baiknya jika tidak ada agama itu, karena agama itu yang sebenarnya harus mempersatukan semua hamba Allah, sejak dari dahuku-dahulu menjadi pangkal perselisihan dan perpecahan, jadi sebab perkelahian berbunuh-bunuhan yang sangat ngeri dan bengisnya. Orang yang seibu-sebapak berlawanan, karena berlainan cara negabdi kepada Tuhan yang Esa itu. Orang yang berkasih-kasihan dengab amat sangatnya, dengan amat sedihnya bercerai-cerai, karena berlainan tempat menyeru Tuhan, Tuhan itu juga, terdirilah tembok membatas hati yang berkasih-kasihan.
Benarkah agama itu restu bagi manusia? Tanyaku kerap kali kepada diriku sendiri dengan bimbang hati. Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu!
Pada Kakiku Ternganga Jurang,
Diatas Diriku Melengkung Langit Terang Cuaca
November 1899
(Nyonya Ovink-Soer)
Kadang-kadang kepada orang lain Bapak bercerita sesuatu hal kami, sama benar dengan yang kami pikirkan, tetapi yang kami diamkan. Heran benarlah kami, betapa Bapak tahu jua semuanya itu, segala barang yang kami pikirkan dalam hati kami sendiri, tiada kami ucapkan kepada orang lain. Sebabnya tentulah karena Bapak sangat sayangnya kepada kami, dan kami saying pula akan bapak. Kadang-kadang Bapak mengherankan kami, Bapak membuka pikiran yang tersimpul di dalam anak hatiku, yang kusangka tiada orang lain yang tahu akan pikiran itu, itulah gerangan yang dinamakan jiwa bersaudara?
………………………………………………………………
Ibuku, nyonya jantung hati, kehendakku balik kembali. Ibu anak-anak ibu merindukan Ibu. Beringinkan Mari yang dahulu balik pula kembali, rindu akan ketika kami bersenang hati bersama-sama dengan Ibu, berjam-jam duduk di kamar Ibu, hati merasa berbahagia, di dalam kamar tempat ibu membiarkan kami membaca dengan senangnya, tempat amat banyak kita mmemperbincangkan perkara, yang senantiasa akan terbayang-bayang diantara kita. Aku rindu akan bercakap-cakap beramah-ramah pula dengan ibu, bercakap-cakap membentangkan kepada si Ibu dengan segala pikiran yang merentak-rentak dalam kepalaku, dan segala perasaan dalam hatiku yang gelisah ini.
12 Januari 1900
(Nona Zeehandelaar)
Pergi ke Eropa! Sampai nafas ku yang penghabisan akan tetap jadi cita-citaku.
Sekiranya dapat aku mengecilkan tubuhku hingga aku dapat masuk kedalam sampul surat, pastilah aku turut serta dengan surat ini mengunjungi engkau, Stella, dan abang kesayanganku dan….Diamlah! Cukuplah! Bukan salahku, Stella, di sana sini aku menulis yang bukan-bukan. Gamelan kaca di pendopo lebih tahu akan hal itu. Gamelan itu melagukan lagu kami bertiga. Bukan nyanyian, bukan lagu sebenarnya, hanyalah bunyi dan suara, amat lemah lembutnya, tiada tetap, bergetar tiada berketentuan beterbangan, tetapi alangkah rawannya hati, alangkah indahnya! Bukan, bukan suara kaca, tembaga, kayu, yang naik itu ke udara, melainkan suara yang keluar dari sukma manusia, meresap kedalam hatikadang-kadang keluh kesah, sebentar lagi meratap menangis, sekali-sekali gelak tawa. Dan sukma saya pun terlayang-layang dibawah suara lemah lembut bersih itu, naik keatas, ke dalam udara tipis biru itu, kea wan kapas, ke bintang di langit yang bersinar-sinar: -suara lembap pun naiklah, dan suara itu membimbing akan melalui lembah gelap, jurang dalam, melalui hutan rimba semak belukar yang tiada terlalu! Dan sukmaku gemetar, mengerucut karena takut, karena pedih dan sedih!
Sudah ribuan ku dengar “Ginonjing” tetaoi tiada satu bunyi, satu suara pun yang lebat dalam ingatanku. Sekarang gamlan itu sudah berhenti, tetapi tiada suatu bunyi pun yang kuingat, semuanya sudah hilang dari ingatanku, sekalian bunyi jelita sedih itu, yang bmenjadikan hatiku merasa berbahagia, serta menjadikannya merayu pula sekali. Aku tiada hendak mendengarkan lagu yang menyayukan hati itu, tetapi mesti, mesti juga aku mendengarkan suara lemah lembut itu, yang mengisahkan kepada ku masa yang silam, masa yang dihadapan: dan napas bunyi terang benderang bergetar itu, adalh seolah-olah mengembuskan selubung yang menyelubungi rahasia yanag akan dating. Dan terang nyata senyata hari ini, lukisan mata yang dating melintasi mata semangatku. Gemetar tubuhku, melihat di masa yang dihadapanku itu, gambaran yang muiram-muram bangkit naik. Aku tiada hendak melihat, tetapi mataku tinggal terbeliak juga, dan pada kakiku ternganag jurang yang sedalam-dalamnya, tetapi bila kau menengadah, melengkunglah langit yang hijau terang cuaca diatasku dan sinar matahari keemasan bercumbu-cumbuan, bersenda gurau dengan awan putih bagai kapas itu; maka dalam hati terbitlah cahaya terang kembali!
……………………………………
Engkau menghiburkan hatiku, terima kasih, Stella. Berharaplah aku, katamu itu menjadi benar kiranya. Tahukah engkau bunyi semboyan ku? “aku mau” Dan kedua patah kata yang ringkas itu sudah beberap kali mendukung membawaaku melintasi gunung keberatan dan kesusahan. Kata “aku tiada dapat!” melenyapkan rasa berani. Kalimat “aku mau!” membuat kita mudah mendaki puncak gunung. Segenap diriku berani bergembira. Stella, peliharalah api berani gembira itu! Janganlah biarkan padam! Gembiralah hatiku, gembirakan jadi bernyala-nyala, Stella, kasihanilah aku, jangan aku dilepaskan.
………………………………………………………………………………………….
Tentang pengajaran ada bapak menyampaikan ota kepada Pemerintah. Stella, kehendak hatiku, dapat kau baca hendaknya nota itu. Kata Bapak dalam nota itu : Pemerintah tiada akan sanggup menyediakan nasi di piring bagi segala orang jawa, akan dimakannya, tetapi Pemerintah dapat memberikandaya upaya supaya orang Jawa itu dapat mencapai tempat makanan itu ada. Daya upaya itu ialah pengajaran. Memberi anak negeri ini pengajaran yang baik, sama halnya seolah-olah Pemerintah menyerahkan suluh kedalam tangannya, supaya dapat ia sendiri yang mencari jalan yang benar, yangb menuju ke tempat nasi itu. Bapak akan berusaha sekuat tenaganya akan mengajukan anak negeri ini, dan aku pun akan turut membantunya.
Bapak tiada juga suka berbuat barang sesuatu yang tiada sekehendak adat asal-usulnya, tetapi hak tinggal hak dan mana yang adil diadilkannya. Pikirlah, kami hendak sama dengan orang Eropa dalm hal kepintaran maupun dalam hal peradaban. Hak yang kami kehendaki bagi diri kami sendiri, harus pula kami berikan kepada orang lain yang ada memintanya kepada kami. Meyukat dengan dua buah sukat, tdak kami hendak! Orang Eropa makan hati melihat beberapa rupa sifat orang Jawa, misalnya sifat pelalai, malas, dan sebagainya. Kalau benar hal itu mengesalkan hati orang Belanda, mengapakah tiada berbuat sesuatu apa juga pun akan menghilangkan sifat buruk itu? Mengapa tiada tuan ulurkan tangan tuan, akan membangkitkan saudaranya si kulit hitam itu? Percayalah semua sifat buruk itu dapat juga dilenyapkannya. Buangkanlah selububung otaknya yang tebal itu, bukalah matanya, maka akan engkau lihat nanti, adakah lagi padanya sifat-sifat yang lain daripada nafsu berbuat jahat, yanitu nafsu yang terbit oleh karena kebodohan dan kurang pengetahuan. Terlalu banyak contoh, tiada usah jauh-jauh ku cari, kau pun tiada usah mencarinya, Stella. Ini di hadapan mu terurai pikiran orang yang masuk golongan bangsa kulit hitam yang dihinakan itu. Alangkah pandainya mereka itu berbuat pertimbangan tentang kami? Kenalkah mereka akan kami?
Tidak: sama saja, seperti kmi pun tiada mengenal mereka!
Orang Belanda menertawakan dan mencemoohkan kebodohan kami, tetapi bila kami coba mmajukan diri kami, sikapnya pun terhadap kami mengancam. Alangkah sedihnya hati kami, dahulu semasa di sekolah, guru dan banyak sesame murid memusuhi kami, sama saja dengan anak-anak lainya. Banyak juga guru yang berat hatinya memberikan seorang anak Jawa angka yang tertinggi, meskipun sungguh-sungguh ada hak anak itu mendapatnya.
………………………………………………………………………………………
Sungguhlah orang Eropa itu menjadikan dirinya tertawaan kami saja; dia menghendaki kami berbuat hormat kepada mereka, seperti kami diwajibkan oleh adat kami member hormat kepada kami orang Bumiputra. Resident dan assisten resident menyebutkan dirinya “kanjeng” sudah sepatutnyalah itu, tetapi opseter kebun, pegawai kebun lainnya dan besok lusa boleh jadi juga sep stasiun, menyuruh bujangnya memanggilnya “kanjeng”; yang demikian itu sebenar-benarnyalah gila lah namanya itu. Tahukah mereka itu, apakah artinya kanjeng? Disuruhnya orang dibawahnya menghormati dia dengan cara yang hanya dilakukan orang-orang itu kepada kepalanya sendiri. Aduh, aduh, sangka ku hanya si Jaw bodoh itu saja yang ingin dianjung-anjungkan, tetapi sekarang tahulah aku bahwa orang Barat itu pun tak segan dianjung-anjungkan itu, bahkan gila akan anjungan itu.
Perempuan yang lebih tua daripadaku, akan tetapi bangsanya kurang, tiada pernah kuizinkan menyatakan hormat yang ada jadi hakku. Aku tahu, dia suka sekali berbuat begitu, meskipun aku jauh lebih muda daripada dia, karena aku eorang keturunan bangsawan asal yang sangat disembah dijunjungnya, sedang barang da hartanya relalah mengurbankan untuk bangsawan itu. Terharu hati kita, melihat setianya orang itu kepada kepala-kepalanya. Tidak senang hatiku melihat orang yang tua daripadaku lalu berjongkok-jongkok di hadapanku.
BAnyak orang Eropa disini berputih mata melihat orang Jawa, orang yang dibawahnya perlahan-lahan maju, dan tiap-tiap kali ada saja orang kulit hitam timbul, membuktikan bahwa dia ada juga berotak dalam kepalanya dan berhati jantung dalam dadanya, tiada bedanya dengan orang kulit putih.
Perbuatlah sekehendak hatimu, menahan paksaan zaman tiada engkau akan dapat. Aku saying akan orang Belanda, saying, amat saying, dan banyaklah terima kasihku, karena banyklah kepunyaannya yang boleh kami rasai sedapnya dan banyaklah yang sudah kami rasai sedapnya, oleh Karen pertolongannya. Banyak, amat banyak daripada saya, boleh kami sebutkan sahabat karib kami, akan tetapi banyak amat banyak pula yang memusuhi kami, tiada lain sebabnya, hanyalah karena kami berani berdaya upaya jadi cerdas dan maju hamper-hampir sama dengan dia.
Sekarang tahulah aku, mengapa orang Belanda tiada suka, kami orang Jawa maju. Apabila si Jawa itu telah berpengetahuan tiadalah ia hendak mengia dan mengamin saja lagi, akan barang sesuatu yang dikatakan dipikulkan kepadaya oleh orang yang diatasnya.
Gerakan orang Jawa itu baru mulanya saja. Perjuangan akan sngat hebatnya; prajurit gerakan itu, bukan hanya lawannya saja yang harus dilawannya, melainkan juga hati tawar orang sebangsanya sendiri, padahal keperluan bangsa itulah yang diperjuangkan.
Dan apabila perjuangan orang laki-laki itu sudah sengit, maka akan bangkitlah pihak perempuan. Berbahagialah kami, beruntung hidup masa ini! Masa perubahan, masa kuno beralih menjadi masa baru!
Tuahn tiada akan tuli, mendengar sekian banyak hati sama-sama mendoa. Ibuku, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa anak Ibu ini tiada aka nada halangan suatu apa. Sudah tentu Ibu akan mendapat kabar dengan segera bila kejadian besar itu telah tiba.
Selamat malam, Ibuku saying, terimalah sekali lagi terima kasih kami berdua banyak-banyak. Sampaikanlah salam kami berdua, dan terimlah sendiri ciuman anak kandung Ibu.
KARTINI
Surat ini ialah suratnya yang penghabisan.
Mereka yang berkirim surat dengan Kartini
Nona Estelle H. Zeehandelaar, yang kemudian nikah dengan Tuan Harsthalt, sebenarnya belum pernah bertemu dengan R.A. Kartini; Cuma berkenalan dengan jalan surat saja.
Nyonya M.C.E. Ovink-Soer ialah nyonya asissten resident Jepara, yang kemudian digantikan oleh Tuan Gongrijp. Dari isi Surat-surat kepada nyonya itu diketahuinyalah betapa karibnya R.A.Kartini dengan dia, sampai disebutnya Ibu.
Tuan Prof.Dr.G.K.Anton dan Nyonya Jena (Jerman), pernah mengunjungi pulau Jawa dan ada singgah di Jepara.
Mr.J.H. Abendanon, dahulu menjadi directeur depertement Onderwijs, Eredienst en Nijverheid. Nyonyanya ialah Nyonya R.M.Abendanon Mandiri, yang disebut oleh Kartini “Ibu”.
Surat-surat R.A.KArtini Membuka Jalan Pendidikan
Surat-surat itu diumumkan oleh Mr. Abendanon pertama kalinya dalam tahun 1911. Pada mulanya maksudnya akan menarik perhatian dan meminta pertolongan orang mendirikan sekolah buat anak gadis Bumiputra yang berpangkat seperti yang dicita-citakan oleh Kartini.
Buku itu disambut orang dengan gembira sehingga dalam waktu sedikit saja perlu dicetak hingga beberapa kali. Berkat uang penjualan buku itu dapatlah diadakan pertemuan “Kartinifonds” di Den Haag, yang bermaksud mendirikan dan membantu anak perempuan. Maka pada akhir 1913 didirikan sekolah Kartini yang pertama di Semarang. Sejak itu sudah ada pula sekolah yang semacam itu di tempat yang lain-lain, dipelihara oleh perhimpunan Sekolah Kartini (Kartini-Schoolvereniging) yang ada di tiap-tiap tempat itu. Sekolah Kartini itu sebenarnya serupa HIS untuk anak perempuan semata-mata, yang ada juga member pelajaran yang khusus bagi anak perempuan.
“TULISAN INI BENAR-BENAR DISADUR DARI BUKU HABIS GELAP TERBITLAH TERANG TERJEMAHAN ARMIJN PANE”
Sekarang bukan lagi masanya kita berada pada wacana emansipasi wanita, tetapi bagaimana kita mengambil dan memanfaatkan kesempatan yang telah terbuka bagi kita….(Dhea nadya)