Terkisahlah seorang filsuf
yang termasyhur di jamannya. Filsuf itu telah sekian lama hidup bersama
rambutnya yang memutih keperakan, sebuah perpustakaan dan seorang anak
lelaki. Lantas istrinya ? Hmm.. Menurut kabar yang beredar, istrinya yang cantik telah pergi dan menikah lagi dengan seorang pemain sirkus keliling.
Anak lelaki
dari filsuf itu mewarisi setengah darah dari sang ayah yang menyebabkan
ia terkadang senang sekali berpikir dan mencari kebenaran. Akan tetapi,
setengah dari tubuhnya mengalir pula darah sang ibu yang gegabah dan
agak pandir.
Maka menjelmalah ia menjadi seorang anak lelaki yang senang berpikir dan mencari kebenaran, sekaligus pandir.
Namun sang
filsuf, yang tampaknya telah mendekati akhir perjalanan hidup, menaruh
harapan yang begitu tinggi terhadap anak lelaki satu-satunya. Tiada
henti ia menjejali anak itu dengan berbagai petuah dan filsafat.
“ Ayah telah lama berjalan, nak. Kini ayah lelah. “ ujar sang filsuf.
“ Kalau begitu, istirahatlah saja, ayahanda. “ sahut anak lelakinya.
“ Ehm.. ayah sedang berbicara dengan bahasa kiasan , anakku, mengertilah sedikit. “
Anak lelaki itu lantas manggut-manggut.
“ Nak, kuharap
di akhir hidupmu nanti, kau tidak sepertiku. Berbaring di ranjang
menunggu takdir datang untuk memutus kehidupan..eh.. “ sang ayah terbatuk-batuk. Tubuh rentanya ikut terguncang karena batuknya.
“ Sudahlah ayahanda, jangan berpikir mengenai kematian siapapun. “
“ Ssssttt..
dengar baik-baik anakku. Kau mesti mencari pohon Kebijaksanaan itu
sebelum kehidupan berakhir. Ingat yang selalu ayah ceritakan padamu,
mengenai pohon Kebijaksanaan? “
Anak itu memutar-mutar bola matanya lalu menyeringai lebar.
“ Ya ayah, aku
ingat. Pohon yang rindang, sejuk dan penuh kedamaian. Sehingga orang
yang berteduh di bawahnya merasa tenteram hingga rasanya tak ingin lagi
beranjak ke mana-mana! “
“ Benar. Lalu apalagi ? “
“ Uh.. ya. Pohon itu juga memiliki ratusan bahkan ribuan macam bunga yang mekar di setiap cabangnya ! “
Sang filsuf mengangguk tanda setuju sambil mengelus jenggotnya.
“ Ingat nak, kau
akan menemukan pohon Kebijaksanaan itu, dengan ribuan bunga yang mekar,
setelah kau menanam ribuan kebajikan di muka bumi ini. “
Anak lelaki itu memutar-mutar bola matanya lagi dan berpikir keras..
“ Lalu, apa yang harus kulakukan sesampainya aku di sana , wahai ayahanda ? “
“ Heheh.
Begitu kau telah menemukan pohon Kebijaksanaan itu, berarti tugasmu
hampir usai. Hal yang paling terpenting yang mesti kau lakukan
berikutnya adalah..eh.. “ sang filsuf terbatuk- batuk lagi. Suaranya kian parau.
“ Ya, ayah, beritahu padaku, maka tugasku selanjutnya adalah..? “
Menjemput Malaikat
Setelah kematian
sang ayahanda yang mengharubiru, anak lelaki itu memutuskan untuk serta
merta mengubah hidupnya menjadi seorang pengelana.
Ia membawa
perbekalan secukupnya berupa selembar pakaian, sebuah buku dan pena.
Anak lelaki itu menjelajah ke desa-desa, kota-kota dan setiap tempat
yang belum pernah dijangkaunya selama ini.
Menjalani kehidupan demikian
tidaklah mudah. Tetapi di situlah ia merasakan sebuah perubahan besar.
Dan ia berjanji, untuk selalu mencatatkan hari-hari yang dilaluinya di
dalam sebuah buku.
Hari ke 30. Atau sebulan. Ng..sebulan kurang satu hari karena bulan ini diakhiri oleh tanggal 31. aduh…
Anak lelaki itu menggaruk-garuk kepalanya.
‘ Tiga puluh
hari telah kujalani sebagai seorang pengelana. Aku bersyukur pada Tuhan,
karena masih memberikan keselamatan bagiku. Bahkan, terimakasih juga
kuhaturkan pada seekor domba yang memberiku rejeki hari
ini.Maksudku..rejeki itu tetaplah dari Tuhan, namun datang melalui domba
gemuk itu. Maksudku.. pemilik domba itu. ADUH..’
Anak lelaki itu berhenti sejenak, demi meratapi isi tulisannya yang agak kacau. Lalu ia meneruskan.
‘ Andaikan bulu domba itu tidak perlu dicukur, maka aku tidak makan enak hari ini. Eh.. hubungannya adalah.. pemilik domba itu telah berbaik hati untuk mengupahku tadi siang, yang mana akibatnya.. bukan..yang dikarenakan aku telah berhasil…’
Lalu anak lelaki itu geleng-geleng sendiri menyadari jalan pemikirannya yang tidak runut. Bahasanya pun semakin rancu.
‘ Akhir dari tulisan ini adalah, terimakasih wahai pemilik domba, semoga Tuhan memberkatimu. ‘
Wah, aku lupa untuk mendoakan domba gemuk itu agar terberkati Tuhan! Ujar anak lelaki itu dalam hati.
‘ Eh.. tunggu, rupanya tulisan ini belum
berakhir. Kebajikan yang kurasakan hari ini seperti biasanya..TIDAK ADA.
Aku bingung, seperti apa rupa dan laku kebajikan itu. Apakah ini
pertanda aku akan gagal menemukan pohon Kebijaksanaan itu ? ‘
Begitulah, hari berganti. Bulan berlalu dan musim pun terus berubah. Anak
lelaki itu telah lama tumbuh dan menua menjadi sosok lelaki
berjanggut. Namun ia masih juga belum mengerti mengapa ia harus
menjemput malaikat. Tidak juga lelaki itu menemukan dirinya melakukan
kebajikan seperti yang dipetuahkan oleh ayahnya. Padahal menurut sang
filsuf, ia harus menanam seribu kebajikan di muka bumi, barulah ia bisa
menemukan pohon Kebijaksanaan dengan seribu macam bunga mekar di
dahannya. Dan tepat di situlah ia akan menjemput malaikat.
Ya. Menjemput malaikat.
Di satu hari
yang begitu terik, lelaki tua yang mencari pohon Kebijaksanaan itu
merasa amat kelelahan. Ia baru saja meninggalkan sebuah desa yang
melepas kepergiannya dengan pilu. Begitu besarnya rasa cinta para warga
desa, sampai-sampai beberapa dari mereka berniat untuk menjadi pengikut
dari lelaki tua itu.
Biarkan kami jadi pengikutmu, wahai manusia saleh..
Namun, sang pengelana itu menolak.
Menurutnya, ia mesti berjalan sendiri untuk menemukan pohon
Kebijaksanaan itu. Dan sesampainya di sana, maka ia akan menjemput
malaikat..
Karena langit
seperti tak berawan, hingga panas matahari terasa begitu menyengatnya,
maka sang pengelana memutuskan untuk berteduh sejenak di satu pohon
besar nan rindang. Ia sungguh letih. Bahkan ia teramat rapuh untuk
melanjutkan perjalanan. Ia merasa bahwa di akhir hidupnya tinggallah
kesia-siaan. Maka gagal sudah upayanya selama ini untuk memenuhi petuah
terakhir dari ayahnya.
Rasa haus
mendera. Sang pengelana menengadah ke atas untuk melihat apakah hari ini
akan turun hujan. Akan tetapi yang dilihatnya bukan awan mendung.
Melainkan rimbunan bunga. Bermacam bunga yang pernah mekar di dunia. Dan
bebungaan itu tumbuh melekat di dahan pohon. Pohon.. Kebijaksanaan!
EUREKA!!
Akhirnya aku menemukannya!
Tubuh rentanya bergejolak lagi, terbakar sukacita. Lantas, sosok bercahaya itu datang..
“ Nah.. kau.. pasti malaikat, bukan ? Ayahku telah menceritakan hal ini sekian lamanya. “
Sosok bercahaya itu mengangguk.
Sang pengelana lantas bersorak dalam hati. Akhirnya..
“ Kalau begitu, kemarilah, apakah kau sudah siap, aku akan menjemputmu ! “ ujar sang pengelana tua pada malaikat.
“ Apa maksudmu ? Wahai pengelana tua ? Akulah
yang seharusnya bertanya mengenai kesiapanmu, karena AKUlah yang datang
kemari untuk MENJEMPUTMU!”
“ Wahai malaikat agung.. rupanya kau tidak mengerti bahwa aku telah menerima petuah dari sang filsuf..”
“ Kau lah yang tidak mengerti wahai pengelana.. “
Apa yang tidak aku mengerti ? sang lelaki tua bertanya dalam hati.
“ Petuah sang filsuf itu , mengenai pohon Kebijaksanaan, ataupun istilah menjemput malaikat, semua itu hanyalah kiasan saja. Kini, bersiaplah wahai pak tua, aku akan membawamu pergi ke tempat yang lebih indah..”
Sang pengelana tua itu mengangguk angguk meski masih ada sedikit keraguan dalam hatinya.
“ Tunggu sejenak wahai malaikat.. sebelum kau membawaku pergi, aku ingin bertanya sesuatu..pertanyaan terakhir dalam hidupku. “
Sang malaikat menyilahkan dengan takzim.
“ Aku tak pernah
sekalipun menanam kebajikan di muka bumi ini, namun mengapa aku bisa
menemukan pohon Kebijaksanaan ini..? “ sang pengelana bertanya dengan
napas pendek-pendek. Sesak menjalari dadanya yang cekung.
“ Justru karena kau MENGABAIKAN semua
kebajikan yang kau perbuat, maka akhirnya kau bisa menemukan pohon
Kebijaksanaan ini. Begitulah semestinya seorang bijak berlaku..“
Sang malaikat tersenyum penuh keagungan.
Ia membawa serta sang pengelana tua bersamanya, menuju keabadian..
sumber : http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2012/05/11/menjemput-malaikat-di-pohon-kebijaksanaan/
0 komentar:
Post a Comment