Saturday, May 19, 2012

Pohon Kebijaksanaan

Terkisahlah seorang filsuf yang termasyhur di jamannya. Filsuf itu telah sekian lama hidup bersama rambutnya yang memutih keperakan, sebuah perpustakaan dan seorang anak lelaki. Lantas istrinya ? Hmm.. Menurut kabar yang beredar, istrinya yang cantik telah pergi dan menikah lagi dengan seorang pemain sirkus keliling.

Anak lelaki dari filsuf itu mewarisi setengah darah dari sang ayah yang menyebabkan ia terkadang senang sekali berpikir dan mencari kebenaran. Akan tetapi, setengah dari tubuhnya mengalir pula darah sang ibu yang  gegabah dan agak pandir.

Maka menjelmalah ia menjadi seorang anak lelaki yang senang berpikir dan mencari kebenaran, sekaligus pandir.

Namun sang filsuf, yang tampaknya telah mendekati akhir perjalanan hidup, menaruh harapan yang begitu tinggi terhadap anak lelaki satu-satunya. Tiada henti ia menjejali anak itu dengan berbagai petuah dan filsafat.

“ Ayah telah lama berjalan, nak. Kini ayah lelah. “ ujar sang filsuf.
“ Kalau begitu, istirahatlah saja, ayahanda. “ sahut anak lelakinya.
Ehm.. ayah sedang berbicara dengan bahasa kiasan , anakku, mengertilah sedikit. “
Anak lelaki itu lantas manggut-manggut.
“ Nak, kuharap di akhir hidupmu nanti, kau tidak sepertiku. Berbaring di ranjang menunggu takdir datang untuk memutus kehidupan..eh.. “ sang ayah terbatuk-batuk. Tubuh rentanya ikut terguncang karena batuknya.
“ Sudahlah ayahanda, jangan berpikir mengenai kematian siapapun. “
Ssssttt.. dengar baik-baik anakku. Kau mesti mencari pohon Kebijaksanaan itu sebelum kehidupan berakhir. Ingat yang selalu ayah ceritakan padamu, mengenai pohon Kebijaksanaan? “
Anak itu memutar-mutar bola matanya lalu menyeringai lebar.
“ Ya ayah, aku ingat. Pohon yang rindang, sejuk dan penuh kedamaian. Sehingga orang yang berteduh di bawahnya merasa tenteram hingga rasanya tak ingin lagi beranjak ke mana-mana! “
“ Benar. Lalu apalagi ? “
Uh.. ya. Pohon itu juga memiliki ratusan bahkan ribuan macam bunga yang mekar di setiap cabangnya ! “
Sang filsuf mengangguk tanda setuju sambil mengelus jenggotnya.
“ Ingat nak, kau akan menemukan pohon Kebijaksanaan itu, dengan ribuan bunga yang mekar, setelah kau menanam ribuan kebajikan di muka bumi ini. “
Anak lelaki itu memutar-mutar bola matanya lagi dan berpikir keras..
“ Lalu, apa yang harus kulakukan sesampainya aku di sana , wahai ayahanda ? “
Heheh. Begitu kau telah menemukan pohon Kebijaksanaan itu, berarti tugasmu hampir usai. Hal yang paling terpenting yang mesti kau lakukan berikutnya adalah..eh.. “ sang filsuf terbatuk- batuk lagi. Suaranya kian parau.
“ Ya, ayah, beritahu padaku, maka tugasku selanjutnya adalah..? “

 Menjemput Malaikat
 
Setelah kematian sang ayahanda yang mengharubiru, anak lelaki itu memutuskan untuk serta merta mengubah hidupnya menjadi seorang pengelana.

Ia membawa perbekalan secukupnya berupa selembar pakaian, sebuah buku dan pena. Anak lelaki itu menjelajah ke desa-desa, kota-kota dan setiap tempat yang belum pernah dijangkaunya selama ini. 

Menjalani kehidupan demikian tidaklah mudah. Tetapi di situlah ia merasakan sebuah perubahan besar. Dan ia berjanji, untuk selalu mencatatkan hari-hari yang dilaluinya di dalam sebuah buku.
Hari ke 30. Atau sebulan. Ng..sebulan kurang satu hari karena bulan ini diakhiri oleh tanggal 31. aduh…
Anak lelaki itu menggaruk-garuk kepalanya.

‘ Tiga puluh hari telah kujalani sebagai seorang pengelana. Aku bersyukur pada Tuhan, karena masih memberikan keselamatan bagiku. Bahkan, terimakasih juga kuhaturkan pada seekor domba yang memberiku rejeki hari ini.Maksudku..rejeki itu tetaplah dari Tuhan, namun datang melalui domba gemuk itu. Maksudku.. pemilik domba itu. ADUH..’

Anak lelaki itu berhenti sejenak, demi meratapi isi tulisannya yang agak kacau. Lalu ia meneruskan.
‘ Andaikan bulu domba itu tidak perlu dicukur, maka aku tidak makan enak hari ini. Eh.. hubungannya adalah.. pemilik domba itu telah berbaik hati untuk mengupahku tadi siang, yang mana akibatnya.. bukan..yang dikarenakan aku telah berhasil…’

Lalu anak lelaki itu geleng-geleng sendiri menyadari jalan pemikirannya yang tidak runut. Bahasanya pun semakin rancu.
‘ Akhir dari tulisan ini adalah, terimakasih wahai pemilik domba, semoga Tuhan memberkatimu. ‘
Wah, aku lupa untuk mendoakan domba gemuk itu agar terberkati Tuhan! Ujar anak lelaki itu dalam hati.

‘ Eh.. tunggu, rupanya tulisan ini belum berakhir. Kebajikan yang kurasakan hari ini seperti biasanya..TIDAK ADA. Aku bingung, seperti apa rupa dan laku kebajikan itu. Apakah ini pertanda aku akan gagal menemukan pohon Kebijaksanaan itu ? ‘

Begitulah, hari berganti. Bulan berlalu dan musim pun terus berubah. Anak lelaki itu telah lama tumbuh dan menua menjadi sosok lelaki berjanggut. Namun ia masih juga belum mengerti mengapa ia harus menjemput malaikat.  Tidak juga lelaki itu menemukan dirinya melakukan kebajikan seperti yang dipetuahkan oleh ayahnya. Padahal menurut sang filsuf, ia harus menanam seribu kebajikan di muka bumi, barulah ia bisa menemukan pohon Kebijaksanaan dengan seribu macam bunga mekar di dahannya. Dan tepat di situlah ia akan menjemput malaikat.

Ya. Menjemput malaikat.

Di satu hari yang begitu terik, lelaki tua yang mencari pohon Kebijaksanaan itu merasa amat kelelahan. Ia baru saja meninggalkan sebuah desa yang melepas kepergiannya dengan pilu. Begitu besarnya rasa cinta para warga desa, sampai-sampai beberapa dari mereka berniat untuk menjadi pengikut dari lelaki tua itu.
Biarkan kami jadi pengikutmu, wahai manusia saleh..

Namun, sang pengelana itu menolak. Menurutnya, ia mesti berjalan sendiri untuk menemukan pohon Kebijaksanaan itu. Dan sesampainya di sana, maka ia akan menjemput malaikat..
Karena langit seperti tak berawan, hingga panas matahari terasa begitu menyengatnya, maka sang pengelana memutuskan untuk berteduh sejenak di satu pohon besar nan rindang. Ia sungguh letih. Bahkan ia teramat rapuh untuk melanjutkan perjalanan. Ia merasa bahwa di akhir hidupnya tinggallah kesia-siaan. Maka gagal sudah upayanya selama ini untuk memenuhi petuah terakhir dari  ayahnya.
Rasa haus mendera. Sang pengelana menengadah ke atas untuk melihat apakah hari ini akan turun hujan. Akan tetapi yang dilihatnya bukan awan mendung. Melainkan rimbunan bunga. Bermacam bunga yang pernah mekar di dunia. Dan bebungaan itu tumbuh melekat di dahan pohon. Pohon.. Kebijaksanaan!
EUREKA!!
Akhirnya aku menemukannya!

Tubuh rentanya bergejolak lagi, terbakar sukacita. Lantas, sosok bercahaya itu datang..
“ Nah.. kau.. pasti malaikat, bukan ? Ayahku telah menceritakan hal ini sekian lamanya. “
Sosok bercahaya itu mengangguk.

Sang pengelana lantas bersorak dalam hati. Akhirnya..
“ Kalau begitu, kemarilah, apakah kau sudah siap, aku akan menjemputmu ! “ ujar sang pengelana tua pada malaikat.

“ Apa maksudmu ? Wahai pengelana tua ? Akulah yang seharusnya bertanya mengenai kesiapanmu, karena AKUlah yang datang kemari untuk MENJEMPUTMU!”

“ Wahai malaikat agung.. rupanya kau tidak mengerti bahwa aku telah menerima petuah dari sang filsuf..”

“ Kau lah yang tidak mengerti wahai pengelana.. “

Apa yang tidak aku mengerti ? sang lelaki tua bertanya dalam hati.

“ Petuah sang filsuf itu , mengenai pohon Kebijaksanaan, ataupun istilah menjemput malaikat, semua itu hanyalah kiasan saja. Kini, bersiaplah wahai pak tua, aku akan membawamu pergi ke tempat yang lebih indah..”

Sang pengelana tua itu mengangguk angguk meski masih ada sedikit keraguan dalam hatinya.

“ Tunggu sejenak wahai malaikat.. sebelum kau membawaku pergi, aku ingin bertanya sesuatu..pertanyaan terakhir dalam hidupku. “

Sang malaikat menyilahkan dengan takzim.

“ Aku tak pernah sekalipun menanam kebajikan di muka bumi ini, namun mengapa aku bisa menemukan pohon Kebijaksanaan ini..? “ sang pengelana bertanya dengan napas pendek-pendek. Sesak menjalari dadanya yang cekung.

“ Justru karena kau MENGABAIKAN semua kebajikan yang kau perbuat, maka akhirnya kau bisa menemukan pohon Kebijaksanaan ini. Begitulah semestinya seorang bijak berlaku..“

Sang malaikat tersenyum penuh keagungan.
Ia membawa serta sang pengelana tua bersamanya, menuju keabadian..

sumber : http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2012/05/11/menjemput-malaikat-di-pohon-kebijaksanaan/

0 komentar:

Post a Comment

Template by:

Free Blog Templates