Kelembagaan Hutan Tanaman Rakyat
Menurut Soetrisno (1977), lembaga adalah aturan didalam
suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang menfaasilitasi koordinasi antara
anggotanya untuk membantu dengan harapan dimana setiap orang dapat bekerjasama
atau berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Sedangkan menurut Soerjono (1990), lembaga masyarakat bertujuan memenuhi
beberapa fungsi yaitu:
1. Memberikan pedoman pada
anggota masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah-laku atau bersikap
didalam menghadapi masalah dalam masyarakat, terutama terutama yang menyangkut
kebutuhan hidup.
2. Menjaga keutuhan
masyarakat.
3. Memberi pegangan kepada
masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian social (social control).
Artinya sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah-laku anggotanya.
Kelembagaaan
HTR secara garis besar terdiri dari dua kelembagaan yakni:
a. Kelembagaan inti
(organisasi petani)
Petani hutan sebagai pengelola sarana produksi, tenaga kerja
untuk menanam, memelihara, memanen tanaman, dan mengelola keuangan. Menurut
Iskandar (2000), bahwa peran lembaga usaha kehutanan dituntut untuk lebih luas
yang bisa menyangkut peran financial yang dating dari pendapatan hasil hutan,
peran politik dalam artian pengendalian kawasan dan sumber daya hutan, peran
pengembangan sosial masyarakat, dan peran mediasi antara masyarakat local dan
masyarakat industry/usaha.
b. Kelembagaan penunjang
(penyuluh, LSM, dan aparat)
Kelembagaan penunjang dapat berperan dalam kegiatan
asistensi dan fasilitasi. Dalam rangka pengembangan HTR diperlukan adanya
kesamaan wawasan dan pandangan dalam mendukung keberhasilan HTR. Menurut Emilia
dan Suwito (2007), masayarak yang berperan dalam kelembagaan penunjang dapat
dibagi menjadi 3 (tiga) kategori yaitu masyarakat lokal, tokoh masyarakat, dan
personel asing. Jadi kelembagaan penunjang ini harus berperan aktif untuk
menjalankan suatu kegiatan atau program pembangunan hutan tanaman rakyat di
daerahnya.
0 komentar:
Post a Comment